Jumat, 24 Oktober 2014

sekilas video , seni tabuh melanglang dunia, ke negara Denmark
Bali selain dikenal dengan icon pulau seribu Pura, pulau Kahyangan, pulau dengan keunikan sawah berundak dan pulau exotis, ragam budaya dan seni, bahkan juga kaya akan keragaman seni karawitannya. Karawitan adalah istilah lain daripada Musik tradisional yang lazim di kenal di Jawa dan Bali. Untuk menyebutkan istilah karawitan biasanya hanya dikenal pada komunitas pelakunya itu sendiri, sementara untuk masyarakat umum akrab dengan sebutan gamelan. Dalam satu perangkat gamlean disebut barungan, misalnya barungan gamelan gong kebyar, barungan gamelan semar pegulingan, barungan gamelan angklung , barungan Gong Gede dan sebagainya. Nah masing-masing barungan ini memiliki spesifikasi sendiri, baik fungsi dan juga pemanfaatannya. Seperti gong kebyar sesuai dengan namanya fungsinya adalah untuk jenis lagu kekebyaran, dan pemanfaatannya untuk iringan tari kekebyaran/ tari kreasi baru. Sementara itu barungan Gong Gede, biasanya fungsi dan pemanfaatannya sebagai iringan tabuh petegak/ instrumen, memainkan jenis lagu lelambatan,pengiring upacara Dewa Yadnya, sesekali juga dapat digunakan sebagai iringan tari-tari tertentu, baik itu tari klasik atau iringan praghmen tari. Barungan gamelan Semara Pegulingan/ Semarpegulingan ada istilah saih pitu/ daun bilahnya berjumlah 7 ( tujuh ) bilah, yakni Ndang, Ndaing, Nding,Ndong,Ndeng, Ndeung, Ndung ,(nada setengahan atau dikenal dengan istilah pemero) fungsi dan pemanfaatannya sebagai lagu-lagu yang bisa dimainkan dalam tangga nada mayor maupun minor diatonis atau selendro pelog dalam pentatonis. Biasanya semarpegulingan sebagai pengiring tari khusus bergenre Pelegongan. Selain contoh barungan gamelan diatas, masih ada puluhan jenis barungan gamelan lainnya. Satu diantara sekian banyak barungan gong kebyar, tetapi tidak di pergunakan untuk kekebyaran ansih, tetapi lebih dikenal sebagai barungan gamelan “ Lelonggoran”. Lebih lanjut akan penulis uraikan mengenai Tabuh Lelonggoran sebagai berikut :
Tabuh Lelonggoran :
Cikal bakal lahirnya/ munculnya tabuh Lelonggoran ini diperkirakan lahir bersamaan dengan perkiraan munculnya Gong Kebyar pada abad ke 19 kurang lebih pada tahun 1915 di Desa Bungkulan, Buleleng Singaraja, merujuk tulisan Colin Mc Phee, seorang peneliti barat dalam bukunya Music In Bali ( 1966:328) yang mengatakan bahwa pada tahun 1915, Gong Kebyar di gunakan membarung ( lomba/parade tetabuhan red.) di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan Buleleng ( Pande Made Sukerta, makalah seminar Gong Kebyar.2006) dari informasi inilah dipakai sebagai acuan , dan bahkan untuk lebih menguatkan lagi bahwa Gong Kebyar lahir di Desa Bungkulan. Hal lainnya juga tulisan Balyson( dalam majalah Bhawanagara tahun 1934), menjelaskan terbentuknya gamelan kebyar/ gamelan untuk iringan Tabuh Lelonggoran, diawali dengan mengubah jenis bilah gangsa (tungguh) dari lima bilah hingga akhirnya menjadi sepuluh bilah. Demikian sekilas perjalanan Gong Kebiar yang kelak sebagai instrumen untuk memainkan Tabuh Lelongoran.
Tabuh Lelonggoran sebagai salah satu sarana yang selalu harus ada didalam rangkaian ritual Upacara Dewa Yadnya, sebagai pengejawantahan suara Bajra sang Wiku atau Genta suara pitu sang sulinggih saat melangsungkan pemujaan sebagai Yajmana( Manggalaning Yadnya ) Tarian sebagai Mudraning sang Yajmana ( Ciwa Nata Raja ) dan Gita/Nyanyian Kidung personifikasi Mantra Puja. Untuk sebagian umat saat melaksanakan persembahyangan ( mebakti ) tanpa alunan suara lagu-lagu lelonggoran yang dimainkan secara agung dan terasa ada atmosfir maghis, yang menentramkan hati, jika sudah lewat fase lagu-lagu yang ber-irama menyerupai lagu mars yang di bawakan kelompok marching band. Tabuh Lelonggoran menurut beberapa penggiat pelaku tabuh Lelonggoran, bahkan salah satu dari pelaku tersebut adalah seorang cucu dari sang Maestro, I Gusti Bagus Suarsana yang kebetulan juga seorang seniman tabuh mengatakan :
Adalah I Gusti Nyoman Panji Gede (sudah moring acintya, Alm, red) yang pada saat menekuni, menggubah, mengajarkan tabuh Lelonggoran pada anak didiknya di seantero desa Bungkulan juga di pelosok jazirah Buleleng yang di kenal dengan istilah Dauh Enjung ( kalopaksa,tangguwisia,anturan,tukad mugga, buleleng barat red.) dan Dangin Enjug,(Jinengdalem, Penarukan, sangsit, Jagaraga, menyali dan desa bungkulan buleleng timur red.) diperkirakan berusia 50 (lima puluh) tahun, sekitar tahun 1930 an. Beliau I Gusti Nyoman, selain piawai mengarang lagu secara otodidak, belaiu juga piawai mengarang/ membuat lagu di tempat berlangsung acara mebarung ( perlombaan red.) ada salah satu karya beliau yang boleh dikatakan sangat sakral dan memiliki nilai maghis yakni gubahan tabuh yang diberi nama tabuh “ Sudha Mala”. Lagu /tabuhan mana yang kalau dimainkan satu hari satu malam, tanpa berhenti. Sayang lagu tersebut oleh generasi penerusnya termasuk salah satunya yang masih exist I GB. Suarsana, tak mampu/ memaninkan lagu Sudha Mala tersebut. Kini Suarsana hanya bisa mengenag saat mana ia dan sang Kakek memainkan lagu tersebut dengan ekpresi terkantuk-kantuk saking lama dan panjangnya lagu tersebut, sementara ia baru berusia belasan tahun di tahun 50 an. Namun selain lagu Sudha Mala, masih banyak repertoar lagu/tabuh lelonggoran yang masih secara utuh dan baik dapat dimainkan oleh Suarsana dan adik-adiknya. Adapun harapan dan maksud penulis mengangkat salah satu ensiklopedi musik tradisi yang pada zamannya adalah merupakan karya yang sangat genius dan berilian, dimana didalamnya inhern sudah masuk unsur-unsur pengaruh musik modern yang didalamnya ada seperti intro,tempo, atempo, canon, sinkope, dinamika, interlocking pet/ ubit-ubitan, bahkan prase-prase dengan beat yang terkadang bagaikan slow rock, bahkan menggelegar bagaikan dentuman marching band dan seterusnya. Juga ada fungsi mayorete/ dirighen yang di gantikan oleh Terompong Pengarep. Ia berfungsi sebagai introduction, dirighen, juga leader secara organik. Pemain lainnya tidak akan berani memulai sebelum sang pemain Terompong pengarep memberi aba-aba. Melalui tulisan ini diharapkan, para generasi penerus mengetahui secara pasti dan benar mengenai makna dan fungsi tabuh Lelonggoran, baik dalam persepektif pengiring upacara Dewa Yadnya, maupun sebagai salah satu Barungan/ Rumpun tetabuhan instrumental. Juga diharapkan penerus baik komunitas/ anak cucu keturunan sang Maestro maupun pemerhati dan penggiat seni karawitan bali, mengetahui sejak kapan Tabuh Lelongoran di kenal di desa Bungkulan khususnya dan Buleleng bahkan Bali pada umunya. Dengan demikian jangan sampai masyarakat Buleleng sendiri terlebih masyarakat Bungkulan mendengar Tabuh Lelonggoran sangat asing, bahkan jauh lebih akrab dengan aneka tabuh Lelambatan dan kreasi baru, bahkan musiknya Kitaro. Bahwa kita butuh apresiasi sah-sah saja. Dengan demikian generasi penerus kita tahu, pernah tercatat pada suatu masa seorang “komposer” sekelas Kitaro,Wolfgang Amizius Mozart, pernah lahir di tanah Bali.
Kini , dengan perjalanan waktu, tabuh Lelonggoran, selain komunitas pengusung genre musik ini sudah mulai tergerus jaman, karena faktor alam, usia, segmen/pasar yang membutuhkan untuk eksisnya genre Lelonggoran untuk tetap bertahan, ia semakin tergerus dan tergilas dengan aliran musik “kekebyaran” ber genre pop, maka Tabuh Lelonggoran perlahan namu pasti akan semakin mengecil kerlip cahayanya di jagat karawitan Bali. Sebuah keniscayaan, bahwa Institu Seni Indonesia, kala masih sebagai Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Denpasar konon sudah mendokumentasikan sebagai salah satu jenis karawitan/ tabuh yang memiliki kekhasan di zamannya.
Hal yang membuat saya ingin memposting tentang kesenian mungkin karena saya berkecimpung di dunia sejak masih kecil. Jadi gak ada salahnya kalau saya membahas tentang seni itu sendiri.
Kesenian adalah bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Selain mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia, kesenian juga mempunyai fungsi lain. Misalnya, mitos berfungsi menentukan norma untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan. Secara umum, kesenian dapat mempererat ikatan solidaritas suatu masyarakat.



saat megambel di satra bangli, bersama DWI MEKAR